Powered By Blogger

iklan

Bisnis 100% Tanpa Modal

Senin, 05 Desember 2011

PERAN CENDEKIAWAN MUSLIM DALAM SEJARAH


Cendekiawan atau ilmuwan muslim adalah orang beragama Islam yang ahli dan banyak pengetahuannya dalam suatu atau beberapa bidang ilmu. Dalam bahasa Arab, sebutan cendekiawan biasa dipakai istilah Alim,, jamaknya adalah ‘Ulama’. Kemudian alim dibagi lagi sesuai dengan bidang ilmu keahliannya. Ahli dalam bidang fikih (hukum Islam) digunakan istilah Fakih, ahli dalam lapangan tafsir disebut mufasir, ahli dalam lapangan hadits disebut muhaddis, sedang ahli nahwu (gramatika bahasa Arab) disebut nuhaat dan lain sebagainya.
Dalam perjalanan sejarah, umat Islam sangat banyak memiliki cendekiawan  dalam berbagai lapangan, terutama pada zaman keemasan Islam. Pada makalah ini penulis akan mengelompokkan serta memaparkan beberapa biografi dan karya diantara mereka sesuai dengan bidangnya masing-masing :

A.    Bidang Fiqih/Hukum Islam
  1. Imam Abu Hanifah
Nama lengkapnya al-Nu'man bin Tsabit bin Zauthi. Lahir dan dibesarkan di Kufah pada tahun 80 H. Dia wafat di Baghdad pada tahun 150 H. Pada usia 70 tahun. Abu Hanifah hidup di masa dinasti Umayyah selama 52 tahun, dan di masa dinasti Abbasiyyah selama 12 tahun. Ketika Umar bin Abdul Aziz berkuasa (99-101 H), Abu Hanifah sudah memasuki masa dewasa.
Untuk menjamin hidupnya dia berprofesi sebagai pedagang sutera. Dalam berdagang dia dikenal jujur dan lugas.
Guru Abu Hanifah antara lain'Atho' bin Abi rabah, Hisyam bin Urwah, Nafi' Maula ibnu Umar dan Hammad bin Sulaiman al-Asy'ari yang notabene merupakan tabi'it-tabi'in.
Beliau berijtihad tentang fiqih berdasarkan pada al-Qur'an dan Hadits/Sunnah yang diriwayatkan secara mutawatir saja. Kendati Abu Hanifah dikenal sebagai imam mazhab fiqih tetapi tidak ada satu pun kitab fiqihnya yang sampai kepada kita. Pandangan-pandangannya yang tertulis dalam kitab al-'Alim wa al-Muta'allim, kitab al-Rodd 'ala al-Qodariyah dan lain-lain tidak ditulis dalam kitab fiqih. Tetapi murid-muridnya, seperti Abu Yusuf dan Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani telah berusaha menjaganya dan meriwayatkannya dalam bab-bab fiqih.
Mazhab Hanafi, kini banyak dianut oleh banyak bangsa, Turki, Syiria, Libanon, sebagian Afganistan, Pakistan, India dan Tiongkok.

  1. Imam Malik
Namanya Malik bin Anas al-Ashbahi al-Madani. Lahir pada tahun 93 H. Dan wafat pada tahun 179 H. Ia hidup di Madinah dan tidak pernah ke mana-mana kecuali ke Makkah untuk melaksanakan rukun Islam ke lima.
Imam malik belajar qiro'ah kepada Nafi' bin Abi Na'im (salah seorang qurro' sab'ah), Hadits kepada ulama Madinah, seperti Ibn Syihab al-Zuhri dan Nafi' Maula ibn 'Umar.
Diantara karyanya yang terkenal adalah al-Mutawattho', sebuah kitab hadits bergaya fiqih atau malah sebaliknya kitab fiqih bergaya hadits yang merupakan  kitab hadits dan fiqih tertua yang masih dapat kita jumpai di masa sekarang
Di antara langkah penting yang ditawarkan oleh mazhab Maliki dalam berijtihad adalah penggunaan al-maslahah al-mursalah yang berarti kepentingan, kebaikan yang diperoleh secara bebas. Menurut Imam Malik kepentingan bersama merupakan sasaran syari'at Islam, dengan kata lain prioritas dari semua produk hukum adalah kepentingan bersama, di atas kepentingan lain.
Mazhab Maliki berkembang di Mesir dan Spanyol yang di bawa oleh Yahya bin Yahya al-Laitsi. Selain al-Laitsi, terdapat beberapa ulama besar yang juga ikut andil dalam mengembangkan mazhab Maliki, seperti Ibn Rusyd, penulis kitab Bidayatu al-Mujtahid dan al-Syathibi, penulis al-Muwafaqot fi Ushuli al-Fiqh.

  1. Imam Syafi'i
Namanya Muhammad bin Idris bin al-'Abbas bin Utsman bin Syafi'i bin al-Saibah bin 'Ubaid bin Abd Yazid bin Hisyam bin Abd al-Muthollib bin Abd Manaf al-Quraisyi. Beliau lahir di Ghazah atau Asqolan pada tahun 150 H. Tidak lama kemudian ketika ia berusia 2 tahun, ayahnya wafat dan dibawa ibunya ke Makkah. Syafi'i kecil telah berhasil menghafalkan al-Qur'an,  menghafal banyak hadits serta menguasai satra Arab.
Di antara gurunya dalam bidang Hadits adalah Sufyan bin Uyainah dan Muslim bin Kholid. Ia hafal al-Muwattho' serta berkesempatan belajar pada penulisnya, imam Malik di Madinah hingga sang Guru wafat pada 179 H. Selain itu Syafi'i juga mengembara untuk menuntut ilmu ke Irak dan Yaman bahkan sempat menetap di Baghdad selama 2 tahun sebelum kembali ke Makkah dan akhirnya berkelana lagi ke Mesir.
Dalam berijtihad imam Syafi'i berdasarkan pada 4 hal secara berurutan, yakni al-Qur'an, Hadits, Ijma' dan Qiyas. Dan pemikirannya cenderung berada di tengah; tidak mengikuti aliran tekstual, tetapi tidak juga kepada aliran bebas.
Imam Syafi'i meninggalkan banyak karya, di antaranya, kitab al-Umm, tentang keputusan Fiqih, al-Risalah, tentang ushul Fiqih dan masih banyak lagi pemikiran beliau yang ditulis oleh para murid beliau.
Mazhab Syafi'i banyak dianut oleh bangsa Afrika, sebagian besar Asia, termasuk Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam.

  1. Imam Ahmad bin Hanbal
Termasuk Mujtahid Mazhab ini, memiliki nama lengkap Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal bin Hilal bin As'ad al-Syaibani al-Marwazi. Lahir di Baghdad pada tahun 164 H, di besarkan dan wafat di sana pada tahun 231 H. Seperti hanya Syafi'i Imam Hambali juga berkelana ke banyak daerah untuk menuntut ilmu, seperti Bashroh, Makkah, Madinah, Syam dan Yaman.
Sedangkan diantara guru beliau adalah Hasyim, Ibrahim bin Sa'ad, Sufyan bin 'Uyainah dan Imam Syafi'i.
Dasar ijtihad Imam Hanbali adalah Nushush (al-Qur'an dan Hadits), fatwa para shohabat, Hadits Mursal dan Dhoif sekiranya tidak ada dalail yang menghalangi dan Qiyas. Dari sikapnya bahwa Qiyas (analogis) ditempatkan di nomor terbelakang dan sifatnya darurat, dapat dimengerti kalau Imam Ahmad bin Hanbal dan pengikutnya dikenal sebagai pemikir literalis.
Murid-murid bin Hanbal yang terkenal meneruskan pemikirannya adalah, Ibnu Qudamah Muwafiquddin, penulis al-Mughni, Ibnu Qudamah Syamsuddin al-Maqdisi, penulis al-Syarh al-Kabir, Syeikh al-Islam taqiyuddin abn Taimiyyah dan Ibn al-Qoyim al-Jauziyyah.
Mazhab Hanbali dianut oleh orang-orang Nejad, bahkan dewasa ini menjadi mazhab resmi pemerintah Kerajaan Saudi Arabia.
  
B.    Bidang Tasawuf
1.     Al Hasan al Basri, Abu Said,
Hasan al Basri adalah ulama terkemuka dari generasi tabiin (generasi yang berjumpa dengan para sahabat Nabi, tapi tidak dengan Nabi). Ia lahir di Madinah pada 642 (21 H). Ayahnya, Yassar, yang berasal dari daerah Maisan (terletak antara Basrah dan Wasit), adalah anggota angkatan perang Persia, tertawan oleh pasukan Islam di Irak pada 638 (16 H), kemudian memeluk Islam, dan menjadi maula (anggota keluarga) Zait bin Sabit. Ibunya, Khairah, adalah maulah Ummu Salamah, isteri Nabi Muhammad SAW.
Sampai berusia belasan tahun, Hasan al Basri tinggal di Madinah dan Wadi al Qura (Mekah), kemudian bersama orang tuanya pindah ke Basrah (Irak). Baik di Madinah dan Mekah maupun di Basrah, Hasan al Basri dapat bergaul dengan banyak sahabat-sahabat Nabi. Ia dapat menghayati semangat kesederhanaan dan keikhlasan mereka beragama, di samping banyak menimba informasi tentang sunah-sunah Nabi dari mereka. Sementara ayahnya berhasil menjadi kaya-raya karena berdagang, ia bertekun pula memperkaya diri dengan ajaran-ajaran agama, sehingga dalam usia menjelang 20 tahun telah mulai pula memberi nasehat-nasehat agama kepada khalayak ramai.
Hasan al Basri dikarunia usia yang panjang dan dengan demikian dapat menyaksikan tragedi-tragedi dalam sejarah umat Islam, seperti terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, perang saudara sesama muslim (Perang Jamal, Siffin, dan lain-lain), terbunuhnya khalifah Ali bin Abi Thalib, peristiwa Karbala, dan sebagainya, serta menyaksikan muncul berbagai paham dan aliran di kalangan umat Islam. Ia juga pernah ikut dalam perang Islam untuk menaklukkan Asia Tengah pada 50-an hijrah, dan pernah pula menjadi sekretaris bagi gubernur yang diangkat untuk wilayah Asia Tengah itu. Belakangan ia tetap kembali menetap di Basrah, sampai wafat dan dikuburkan di sana pada 729 (110 H).
Hasan al Basri termasuk ulama besar yang disegani. Ia dikenal sebagai Imam Basrah. Pada dirinya berpadu ulama Mekah dan Madinah, yang berpegang pada nash (al Qur’an dan Sunnah Nabi) dengan kepribadian ulama Irak, yang banyak menggunakan pemikiran. Pengetahuannya luas, mencakup bidang tafsir dan hadits, bidang aqidah dan fikih, sastra Arab dan lebih-lebih bidang kerohanian, yang kemudian menjadi perhatian ilmu tasawuf. Ia dikenal sebagai zahid besar, yang menjadi rujukan bagi zahid-zahid yang muncul kemudian.
Selain Tasawuf dalam lapangan teologi pun Hasan al Basri dikenal dengan baik, karena dari halaqahnyalah muncul Wasil bin atto' dan Amru bin Ubaid, dua muridnya yang memisahkan diri darinya, dan menjadi pendiri aliran Mu’tazilah.

2.     Rabi’ah al Adawiyah
Nama lengkapnya Rabi’ah binti Ismail al Adawiyah al Basriyah adalah seorang sufi wanita terkenal dari abad ke-8 (2 H). Ia diperkirakan lahir pada 713 (95 H) atau 717 (99 H) di suatu perkampungan di luar kota Basrah (Irak). Ia wafat di kota itu pada 801 (185 H), dalam usia 90 atau 86 tahun. Ia bukanlah Rabi’ah yang wafat di Baitul Maqdis (Yerusalem) pada 753 (135 H).
Rabi’ah al Adawiyah dilahirkan sebagai putri keempat dari sebuah keluarga yang miskin. Karena ia putri keempat ia diberi nama Rabi’ah (yang keempat). Kedua orang tuanya wafat ketika berusia kanak-kanak.
Rabi’ah al Adawiyah pada mulanya tinggal di suatu dusun, tapi kemudian tinggal di kota Basrah, dan bagian terbesar dari usianya dihabiskannya di kota itu. Di sana ia memiliki majelis yang dikunjungi banyak murid. Majelisnya itu juga sering dikunjungi oleh zahid-zahid lain, untuk keperluan bertukar pikiran dengan sufi wanita itu. Di antara mereka yang pernah mengunjunginya adalah Malik bin Dinar (w.748/ 130 H), Sufyan as Sauri (w.778/ 161 H), dan Syaqiq al Balkhi (w.810/ 194 H).
Rabi’ah al Adawiyah terkenal zahid (tak tertarik pada harta dan kesenangan duniawi) dan tak pernah mau meminta pertolongan pada orang lain. Berbeda dari para zahid atau sufi yang mendahuluinya atau yang sezaman dengannya, ia dalam menjalankan tasawuf itu bukanlah karena dikuasai oleh perasaan takut kepada Allah atau takut kepada neraka-Nya. Hatinya ternyata penuh oleh perasaan cinta dan asyik-maksyuk dengan Allah, sebagai kekasihnya. Para sarjana tasawuf memandang sufi wanita itu sebagai tonggak penting perkembangan tasawuf dari fase dominasi emosi takut kepada Allah kepada fase dominasi atau pengembangan emosi cinta yang maksimal kepada-Nya.
Konon sesaat menjelang ia wafat, ia menyuruh para sahabatnya keluar dari tempat pembaringannya: “Keluarlah, dan berikanlah ruang untuk para utusan Tuhan”. Ketika mereka keluar dan menutup pintu, terdengarlah oleh mereka suara Rabi’ah yang mengucapkan syahadat, kemudian menyusul jawaban “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhan-mu, masuklah dalam kelompok hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku”, Qur’an, 89 : 27-30 yang agaknya diperdengarkan oleh para malaikat yang menjemput ruh (jiwa)-nya.

C.    Bidang Kedokteran
1. Ibnu Sina
 Namanya Abu Ali Al Husain bin Abdullah, lahir Afsyanah, Bukhara pada tahun 370 H / 980 M, wafat di Hamdan di tahun 428 H / 1037 M. Dokter dan filsuf Islam termasyhur. Di Barat terkenal dengan nama Avicenna. Ayahnya seorang pegawai tinggi pada Dinasti Samaniah (204-395 H / 819-1005 M). Sejak kecil Ibnu Sina belajar menghafal Al Qur’an dan ilmu-ilmu agama. Kemudian mempelajari matematika, logika, fisika, geometri, astronomi, hukum Islam, teologi, kedokteran, dan metafisika. Dengan demikian, ia menguasai bermacam-macam ilmu pengetahuan. Profesinya di bidang kedokteran dimulai sejak umur 17 tahun. Kepopulerannya sebagai dokter bermula ketika ia berhasil menyembuhkan Nuh bin Mansur (976-997), salah seorang penguasa Dinasti Samaniah. Dia dua kali menjabat menteri pada Dinasti Hamdani (293-394 H / 905-1004 M). Karena terlibat persoalan politik, ia dipenjarakan dan dipecat dari kedudukannya sebagai menteri. Kebesaran nama Ibnu Sina terlihat dari beberapa gelar yang diberikan orang kepadanya, seperti Asy-Syaikh al-Ra'is (guru para raja) di bidang filsafat dan pangeran para dokter di bidang kedokteran. Dia banyak meninggalkan karya tulis, semuanya tidak kurang dari 200 buah, termasuk buku saku dan kumpulan suratnya, kebanyakan berbahasa Arab, selainnya berbahasa Persia. Bukunya yang terkenal antara lain, al-Syifa’ (penyembuhan), Al-Qanun fi Al-Tibb (peraturan-peraturan dalam kedokteran) yang selama lima abad menjadi literatur penting bagi fakultas-fakultas kedokteran di Eropa, al-Isyarah wa al-Tanbihat (isyarat dan penjelasan), Mantq al-Masyiqiyyin (logika Timur), dan ‘Uyan al-Hikmah (Mata Air Hikmah).
Ibnu Sina memiliki pemikiran keagamaan yang mendalam. Pemahamannya mempengaruhi pandangan filsafatnya. Ketajaman pemikirannya dan kedalaman keyakinan keagamaannya secara simultan mewarnai alam pikirannya Ibnu Rusyd menyebutnya sebagai seorang yang agamais dalam berfilsafat, sementara Al-Gazali menjulukinya sebagai filsuf yang terlalu banyak berfikir.
Bukan hanya filsafat dan kedokteran saja Ibnu Sina memberikan andil dan pemikirannya, ia juga turut serta ambil bagian dan memberikan andil kepada berbagai ilmu pengetahuan pada zamannya, di antaranya yang menonjol adalah ilmu astronomi. Ibnu Sina menambahkan dalam bukunya Al Magest (buku tentang astronomi) berbagai problem yang belum dibahas, mengajukan beberapa keberatan terhadap Euclides, meragukan padangan Aristoteles tentang kesamaan binatang-binatang tak bergerak, kesamaan kesatuan jaraknya, dan sebagainya. Untuk itu di dalam buku Asy Syifa’ ia menguraikan bahwa,  binatang-binatang yang tak bergerak tidak berada pada satu globe. Ibnu Sina juga banyak membuat rumusan-rumusan tentang pembentukan gunung-gunung, barang-barang tambang, di samping menghimpun berbagai analisis tentang fenomena atmosfer, seperti angin, awan, dan pelangi. Sementara orang yang sezaman dengannya tidak mampu menambahkan sesuatu ke dalam bidang penelitian mereka.
Ibnu Sina juga mendalami masalah-masalah fikih dan menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an. Ia banyak menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an untuk mendukung pandangan-pandangan filsafatnya.

  1. Abu Bakar ar Razi
 selanjutnya disebut saja ar-Razi adalah dokter terbesar yang pernah dilahirkan oleh dunia Islam Klasik, dan juga folosof. Ia lahir di Ray, dekat Teheran, pada 865 (251 H). setelah mempelajari matematika, astronomi, logika, sastra dan kimia, ia memusatkan perhatiannya pada kedokteran dan falsafat.
Sebagian penulis menyebutkan bahwa setelah ia menjadi Direktur Rumah Sakit di Ray dan kemudian di Baghdad, ia sering pindah dari suatu kota atau negeri ke kota atau negeri lain, dan tidak menyebutkan dimana wafatnya. Sebagian menyebutkan bahwa ia wafat di Baghdad, dan sebagian lain menulis bahwa dari Baghdad, ar-Razi kembali ke Ray dan terus menetap di sana sampai wafat. Tahun wafatnya juga ditulis secara bervariasi oleh para ahli 925 (313 H), 932 (320 H), dan lain-lain.
Kesungguhan ar-Razi untuk belajar, meneliti, bekerja, dan menulis luar biasa. Ia pernah menulis dalam setahun lebih dari 20.000 lembar kertas. Disebutkan bahwa untuk menghasilkan bukunya, al-Jami’ al Kabir (Himpunan Besar), ia terus-menerus menulis siang malam selama 15 tahun. Bahkan setelah daya penglihatannya lemah beberapa tahun menjelang wafat, ia tetap tekun membaca dan menulis, kendati dengan pertolongan muridnya. Karya tulis ar-Razi mencapai 232 buku atau risalah, yang kebanyakannya dalam bidang kedokteran. Karya tulisnya yang terbesar adalah al Hawi, sebuah ensiklopedi kedokteran yang terdiri dari 20 jilid, yang mengandung kedokteran Yunani, Syiria, Arab, dan hasil penelitiannya sendiri. Ensiklopedi di kedokteran tersebut diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin pada 1279, dan sejak 1486 berulang kali dicetak, karena dipakai di Universitas-Universitas Eropa sampai dengan abad ke-17. Karangannya tentang campak dan cacar (Fi al Judari wa al Hasbat) juga diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin, dan bahkan pada 1866 dicetak untuk ke-40 kalinya.

D.    Bidang Ilmu Pasti dan Pengetahuan Alam
1.     Al-Khawarizmi
Lahir di daerah Khawarizm, Uzbaikistan, pada tahun 194 H / 780 M. Wafat di Baghdad pada tahun 266 H/ 850 M. Ilmuwan muslim, ahli bidang ilmu Matematika, astronomi, dan geografi. Nama lengkapnya adalah Abu Ja’far Muhammad bin Musa Al Khawarizmi dan di Barat ia lebih dikenal dengan nama Algoarisme atau Algorisme.
Pada usia mudanya ia sudah tampil sebagai seorang ilmuwan ulung dan ikut memperdalam dan menyumbangkan ilmunya di Baitu al Hikmah (perpustakaan dan pusat pendidikan /kajian tingkat tingi di Baghdad) dimasa pemerintahan Khalifah al Ma’mun (785-833). Disinilah ia bekerja dalam sebuah observatorium untuk memperdalam matemaika dan astronomi. Disamping itu, ia juga diserahi tugas oleh Khalifah sebagai kepala perpustakaan.
Dengan ketekunan dan kesungguhannya dalam memperdalam ilmu matematika, ia berhasil memperkenalkan kepada dunia Islam angka dan metode perhitungan India yang digalinya dari literatur Hindu. Karya-karyanya mengenai ilmu hitung dan tabel-tabel astronomi pertama kali diterjemahkan oleh para sarjana Barat pada abad ke-12. Karya aljabarnya yang paling monumental berjudul Mukhtasar fi Hisab al Jabr wa al Muqabalah (Ringkasan Perhitungan Aljabar dan Perbandingan). al-Khawarizmi menyebutkan dalam buku ini bahwa aljabar berarti mengubah (urutan) sebuah kuantitas suatu persamaan dari satu sisi ke sisi lain dalam arti memugar keseimbangannya lewat pengubahan tanda-tandanya, dalam buku ini diuraikan pengertian-pengertian geometris. Ia juga menyumbangkan teorema segitiga sama kaki yang tepat, perhitungan tinggi serta luas segitiga, dan luas jajaran genjang  serta lingkaran. Dengan demikian, dalam beberapa hal al Khawarizmi telah membuat aljabar menjadi ilmu eksak.
Buku ini diterjemahkan di London pada tahun 1831 oleh R. Rosen, seorang matematikawan Inggris, kemudian diedit kedalam bahasa Arab oleh Ali Mustafa Musyarafa dan Muhammad Mursi Ahmad, ahli matematika Mesir pada tahun 1939. sebagian dari karya Al Khawarizmi ini pada abad ke-12 juga diterjemahkan oleh Robert (tidak dkenal nama lengkanya), matamatikawan dari Chester, Inggris, dengan judul Liber Alghebras et Al Mucabola (buku aljabar dan perbandingan), yang kemudian (1915) diedit oleh L.C. Karpinski, seorang matematikawan dari New York, America Serikat.gerard dari Cremina (1114-1187), seorang matematikawan dari Italia, membuat versi kedua dari buku Liber Algebras diatas dengan judul De Jebra et Almucabola (aljabar dan perbandingan). Buku versi Gerard  ini lebih baik dan bahkan mengungguli buku F.C. Rosen. Dengan demikian, karya besar Al Khawarizmi ini tersebar di Eropa dan demikian dikembangkan oleh para ilmuwan Barat.
Dalam buku tersebut, Al Khawarizmi memperkenalkan kepada dunia ilmu pengetahuan angka 0 (nol) yang didalam bahasa Arab disebut Sifr. Sebelum Al Kharizmi memperkenalkan angka nol, para ilmuwan Barat mempergunakan abakus, semacam daftar yang menunjukkan satuan, puluhan, ratusan, ribuan, dan seterusnya, untuk menjaga agar setiap angka tidak saling tertukar dari tempat yang telah ditentukan dalam hitungan. Akan tetapi, hitungan seperti ini tidak mendapat sambutan dari kalangan ilmuwan Barat ketika itu dan mereka lebih tertarik untuk menggunakan raqam al Binji (dartar angka Arab, termasuk angka nol), hasil penemuan Al Khawarizmi. Dengan demikian, angka nol baru dikenal dan dipergunakan orang Barat sekitar 250 tahun setelah ditemukan al Khawarizmi.
Seluruh angka yang diperkenalkan al Khawarizmi tersebut terdapat dalam Kitab al-Jam’ wa al-Tafriq bi Hisab al-Hind (buku Mengumpul [menambah] dan memecah dengan perhitungan India). Didunia Barat buku ini dikenal dalam  terjemahan latin Algoritmi de Numero Indorum. Disamping itu, dari karya Al Khawarizmi dapat juga dipelajari asal-usul sejarah angka-angka yang dipergunakan sampai sekarang. Buku tentang asal-usul dan sejarah angka-angka ini telah diterjemahkan oleh seorang matematikawan Italia, Prince Boncompagni, dengan judul Trattati d’Aritmatica yang diterbitkan di Roma pada tahun 1857.
Melalui buku liber Alghoarismi (buku logaritma), yang merupakan saduran dari buku Al Khawarizmi, uraian tentang operasi penambahan, pengurangan, dan pembagian angka, lebih diperjelas dan diperinci sehingga dapat diketahui bagaimana mempergunakan pecahan desimal (per-sepuluhan) dan seksagesimal (perenampuluhan), yang menggunakan angka 1 (satu) sebagai pembilangan. Dari proses inilah diketahui bilangan lain dengan cara penambahan, 1/3 + 1/15 = 2/5 atau ¼ + 1/28 = 2/7. Bentuk-bentuk pecahan semacam ini telah berkembang di Abad Pertengahan, khususnya, ketika sistem aturan warisan dalam Al Qur’an menampilkan ilmu fara’id (pembagian warisan), dan telah membuat operasi-operasi aritmatika yang menggunakan angka-angka pecahan menjadi lengkap. Dari sinilah diketahui bahwa, ilmu aljabar berasal dari dunia Islam, yakni melalui buah karya Al Khawarizmi dan ilmuwan muslim lainnya, seperti Kusyiyar bin Labban (360 H / 971 M – 420 H / 1029 M), yang menulis sebuah buku aljabar dengan judul Kitab fi Usul Hisab al Hiand (Buku tentang Perhitungan India).
Penemuan ilmuwan muslim tersebut dipelajari, diteliti, dan disempurnakan oleh ilmuwan Barat pada abad-abad berikutnya. Kitab aljabar yang disusun Kusyiyar bin Labban di atas telah hilang, namun versi tertua yang masih tersimpan di London dan Madrid adalah versi Latin dan Ibrani dari karya Al Khawarizmi Zij As Sindhind (Tabel Astronomi) yang diterjemahkan oleh Adelard dari Bath, seorang filsuf Inggris, kemudian diterjemahkan lagi dan diedit oleh H. Suter ke dalam bahasa Jerman dengan judul Die Astronomischen Tafelen des Muhammad Ibn Musa al Kharizmi (Tabel Astronomi oleh Muhammad bin Musa al Khawarizmi). Kopenhagen 1962. karya ini sangat berpengaruh dalam pengembangan ilmu pengetahuan didunia Barat.
Karya lain dari Al Khawarizmi adalah geografi yang berjudul Kitab Sarah al-Art (buku gambaran Bumi). Buku ini memuat daftar koordinat beberapa kota penting dan ciri-ciri geografisnya. Kitab in secara tidak langsung mengacu pada buku geografhy  yang disusun oleh Claudius Ptolemacus (100-178), ilmuwan Yunani. Namun beberapa kesalahan yang terdapat dalam kitab tersebut dikoreksi dan dibetulkan oleh al Khawarizmi dalam bukunya Zij As Sindhind sebelum ia menyusun Kitab Surah al Art.
Disamping itu, Al Khawarizmi juga menyusun buku Istihkraj Tarikh al-Yahud, suatu uraian mengenai penanggalan Yahudi. Buku ini kaya akan informasi dan merupakan petunjuk tertua tentang penanggalan Yahudi.
Dari beberapa buku yang disebutkan diatas, Al Khawarizmi mewariskan beberapa istilah metematika yang masih banyak dipergunakan hingga kini, seperti sinus, kosinus, tangen, dan kotangen.
Karya-karya al Khawarizmi dibidang matematika sebenarnya banyak mengacu pada tulisan mengenai aljabar yan sisusun oleh Diophantus (250 SM) dari Yunani. Namun, dalam meneliti buku-buku aljabar tersebut Al Khawarizmi menemukan beberapa kesalahan dan permasalahan yang masih kabur. Kesalahan dan permasalahan ini diperbaiki, dijelaskan, dan dikembangkan oleh Al Khawarizmi dalam karya-karya aljabarnya. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila ia dijuluki  “Bapak Aljabar”. Bahkan menurut gandz, matematikawan barat, dalam bukunya The Saurce of al Khawarizmi’s Algebra, al Khawarizmi lebih berhak mendapatkan julukan “Bapak Aljabar” dibanding dengan Diophantus karena dialah orang pertama yang mengajarkan aljabar dalam bentuk elementer serta menerapkannya dalam hal-hal yan berkaitan dengannya. Dibidang ilmu ukur, al Khawarizmi juga dikenal sebagai peletak rumus ilmu ukur dan penyusun daftar logaritma serta hitungan desimal. Namun beberapa sarjana matematika barat, seperti John Napier (1550-1617) dan Simon Stevin (1548-1620), mengaggap penemuan diatas merupakan hasil pemikiran mereka.

2.     Ibnu Haitam
 Kelahiran Basra tahun 354 H/ 965, wafat di Cairo pada tahun  430 H/ 1039 M. Seorang ahli fisika abad pertengahan. Ia juga dikenal sebagai ahli matematika, ahli astronomi, filsuf, dan tokoh besar optika. Nama lengkapnya adalah Abu Ali al-Hasan bin al-Hasan bin al-Haitam al-Basri al-Misri. Di Barat ia dikenal dengan beberapa nama, yaitu : Alhasen, Avanathan, dan Avenetan, tetapi yang paling terkenal diantanya adalah Alhazendia dibesarkan di Basra serta belajar matematika dan ilmu-ilmu lainnya disana. Ketika di Basra ini, ia sudah menjadi seorang yang terkenal dengan ketinggian ilmunya. Kemasyhurannya itulah yang membuat penguasa Bani Fatimah di Mesir waktu itu, yaitu al-Hakim bin Amirillah (386-411 H / 996-1021 M), mengundangnya ke Mesir. Maksud undangan Dinasti Fatimah itu adalah memanfaatkan keluasan ilmu Ibnu Haitam. Di diharapkan mampu mengatur banjir Sungai Nil yang kerap kali menggenangi lahan pertanian rakyat.
Ibnu Haitam meninggalkan hampir 200 karya tulis dalam berbagai cabang ilmu matematika, fisika, astronomi, ilmu medis, dan juga filsafat. Melalui tulisan-tulisannya itu dapat dipahami bahwa, ia sangat mendalami segala macam pemikiran ilmuwan-ilmuwan Yunani, terutama karena tulisan-tulisannya itu banyak yang merupakan bahasan dan kritiknya terhadap pemikiran ilmuwan tersebut. Diantara tulisan-tilisannya adalah : Maqalah fi Istikhraj Samt al-Qiblah (dalam buku ini dia menyusun teorema kota), Maqalah fi Hayat al-Alam (mengulas astronomi), Kitab fial-Manasit (sebuah kamus Optika), Fi al-Maraya al-Muhriqah bi al Dawa’ir (tentang cermin yang dapat membakar), Maqalah Fi Daw’al-Qamar (membahas cahaya dan gerak-gerik langit), Fi Sarah al-Khusuf (mengenai penggunaan kamera obscura [kamar gelap] pada pengamatan gerhana matahari), Zawahir al-Hazaq (tentang gejala senja), Fi Kayfiyat al-Izlal : Fi al-Asar Allazi fi al-Qamar. Fi al-Daw : Fi al-Makan : Fi al-Ma’lumat ; Fi Misahat al-Mujassamah (al-Jism) al-Mukafi : Fi Irtifa’ al-Qutb, semuanya tentang fisika dan astronomi.tulisan-tulisan tersebut diatas yang berhubungan dengan disiplin ilmu fisika dan matematika, disiplin yang sangat dikuasainya, hampir seluruhnya diterjemahkan kedalam bahasa-bahasa Eropa.
Dalam bidang astronomi, Ibnu Haitam melanjutkan pendapat ilmuwan Yunani tentang proses pengubahan langit abstrak menjadi benda-benda padat. Dalam karya astronominya, dia juga melukiskan gerak planet-planet, tidak hanya dalam terma eksentrik dan episiklus, tetapi juga dalam satu model fisik. Pendapatnya ini banyak berpengaruh terhadap pemikiran dunia Kristen hingga masa Kepler. Karyanya tentang astronomi ini tiga abad kemudian diturunkan dalam bentuk ikhtisar oleh astronom muslim terkenal lain, yaitu Nasiruddin al-Tusi.
Ia memberikan temuan baru dalam studi gerak, yaitu prinsip inersia/ kekekalan. Jasanya yang lain adalah bahwa, ia membuat studi optika menjadi sains yang baru. Dasar studi optika itu diubahnya dan studi itu dijadikannya disiplin yang teratur dan terumuskan secara baik. Jasanya ialah mengombinasikan penanganan secara matematis yang rumit dengan model fisik dan exsperimen yang teliti sehingga mudah dimengerti. Dalam hal ini, ia dapat dikatakan sebagai ahli fisika toritis dan exsperimental. Ia mengadakan experimen untuk menentukan gerak rektilinear cahaya, sifat bayangan, penggunaan lensa, camera obscura, dan banyak fenomena optika lainnya. Ia mempunyai mesin bubut untuk membuat lensa dan cermin lengkung.
Dia juga telah menemukan bentuk lengkung yang ditempuh cahaya ketika berjalan diudara. Berdasarkan temuannya itu, dia mendapatkan bahwa, kita melihat cahaya bulan dan matahari sebelum keduanya betul-betul tampak di cakrawala, sebaliknya kita masih bisa melihatnya di barat setelah keduanya terbenam sejurus lamanya.
Temuan yang lain adalah keberhasilannya dalam mengawinkan cermin-cermin bulat dan parabola sehingga ditemukan suatu metode untuk mendapatkan fokus. Semua sinar dikonsentrasikan pada sebuah titik sehingga merupakan sebuah cermin pembakaran yang terbaik. Temuan ilmiahnya yang terkenal ialah pendapatnya bahwa, sinar cahaya bergerak mulai dari obyek dan berjalan menuju ke mata. Retina mata adalah tempat penglihatan dan bukan yang mengeluarkan cahaya. Pendapat ini adalah kebalikan dari apa yang pernah dijelaskan oleh Euclides dan Ptolemaeus, pemikir Yunani yang berpendapat bahwa, benda terlihat karena mata memancarkan sinar kepada benda.
Dalam bidang fisika, banyak temuannya mendahului dan diikuti oleh Francis Bacon, Leonardo da Vinci, dan Johanes Kepler. Sementara dalam bidang optika, Ibnu Haitam merupakan tokoh besar antara Claudius Ptolemaeus dan Witelo
Selain bidang-bidang di atas, masih banyak lagi bidang yang digarap oleh para cendekiawan muslim, misalnya, cendekiawan muslim dalam lapangan teologi, umpamanya adalah, Abu Hasan al Asy’ari (873-935), al-Juba’i ( w. 303 H), Abu Mansur Muhammad al Maturidi (w. 944), dan Abu Yusr al Bazdawi (421-493). Dalam lapangan hadits, dikenal beberapa nama ilmuwan besar, seperti Imam Bhukari (w. 870), Imam Muslim (w. 875), Aa Tirmizi (w. 892), dan Al Nasa’i (w. 915).
Tokoh cendekiawan muslim dalam lapangan ilmu sosial, antara lain adalah Yaqut bin Abdullah al-Hamawi (1179-1229) yang mengarang kitab Mu’jam al Buldan (kamus negara) yang merupakan sebuah kamus tentang ilmu bumi. Seorang ahli ilmu bumi yang paling terkenal yang pernah melakukan lawatan untuk penelitian, dan bahkan pernah bermukim di Aceh, adalah Muhammad bin Abdullah bin muhammad bin Ibrahim Abu Abdullah al Lawati al Tanji bin Batutah atau Ibnu Batutah (1304-1377) yang berasal dari Maroko. Seorang ahli yang amat terkenal dibarat sampai sekarang ialah Waliuddin Abdurahman bin Khaldun atau Ibnu Khaldun (1332-1406) yang mengarang buku Muqaddimah (Pendahuluan). Tokoh ini dikenal sebagai bapak Historiografi Modern. Pada lapangan filsafat kita mengenal pula cendekiawan muslim yang amat besar jasanya terhadap dunia, antara lain Abu Yusuf Ya’qub bin Ishak Al Kindi (801-866) yang terkenal sebagai failasuf al-Arab, yang juga mengasai banyak cabang ilmu lain seperti, matematika, geometri, astronomi, farmakologi, ilmu hitung, dan optik. Filsuf lain lain adalah Abu Nasr Muhammad bin Muhammadd bin Tarkhan bin Uzlag Al Farabi (870-950) yang juga memiliki keahlian dalam lapangan logika, politik, ilmu jiwa, dan sebagainya. Filsuf ini mendapat gelar sebagai al Mu’alim al Sani (artinya “guru kedua” sedangkan “guru pertama” adalah Aristoteles). Filsuf lain yang tidak kalah besarnya ialah Abu al Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhamad bin Rusyd atau Ibnu Rusyd (1126-1198) yang juga memiliki berbagai keahlian dalam lapangan ilmu lain.
Dalam catatan sejarah, setelah kekalahan Sholahuddin al Ayyubi, pemimpin terakhir dari dinasti Ayyubiyyah, oleh raja Richard, raja Inggris, pemimpin tentara kristiani, pada perang salib, seluruh maha karya para cendekiawan muslim yang berada di perpustakaan di hanyutkan ke dalam sungai Eufrat oleh Richard setelah disalin ke dalam beberapa bahasa mereka, diantaranya bahasa Spanyol, Perancis, Jerman, Inggris dan sebagainya.   
Dari beberapa riwayat di atas, maka dapat diambil kesimpulan, bahwa para cendekiawan muslimlah peletak cikal bakal semua ilmu pengetahuan modern dewasa ini bukannya ilmuwan Eropa/Barat, seperti pengakuan mereka selama ini.
Pada masa sekarang ilmuwan muslim juga cukup banyak, walaupun kebesarannya tidak setara dengan ilmuwan yang tersebut diatas. Ilmuwan muslim itu dapat pula dikelompokkan menurut daerah asalnya, seperti ilmuwan muslim Indonesia, Malaysia, dan Mesir. Demikian pula, mereka dapat dikelompokkan menurut bidang keahliannya, seperti bidang ekonomi, kedokteran, dan fisika.
Di Indonesia sendiri, kita sudah tidak asing dengan pemikiran Nur Kholis Majid, Abdurrahman Wahid dan lainnya tentang Islam Modern dan demokrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar